Minggu, 07 November 2010

Wayang Ukur

Ketika wayang dimaknai dengan
seni bayang-bayang, barangkali
pemahaman itu perlu
diaktualisasi. Dan hal itu yang
dilakukan oleh almarhum Ki
Sukasman yang mengagas
lahirnya jenis Wayang Ukur.
Sebuah gagasan 'menyimpang'
dari pementasan wayang kulit
pada umumnya. Sebab, dalam
konsep Wayang Ukur, kelir
(layar-red) bukan difungsikan
sebagai pembatas antara dalang
dengan penonton tetapi menjadi
bagian dari 'properti'
pementasan. Lebih dari itu, kelir
menjadi media untuk
menampilkan illustrasi 3 dimensi
untuk memperkuat ilustrasi
lakon.
Gagasan pembaharuan seni
pakeliran lewat "Wayang Ukur"
ini diperkenalkan oleh Ki
Sukasman sejak tahun 80-an
atas keresahannya terhadap
semakin menipisnya anak muda
yang menggemari pertunjukan
wayang kulit. Sukasman
menciptakan sebuah seni garda
depan tanpa kehilangan roh
tradisinya. Dengan daya ungkap
melalui bahasa Indonesia.
Wayang Ukur mencoba
memberi tawaran sebuah seni
pertunjukan bayang-bayang
yang berwawasan global. la
melakukan eksperimen dengan
menciptakan wayang kulit genre
baru, dengan kaidah seni rupa
dan teknik tata cahaya yang
baru, ia menciptakan seni
pertunjukan kontemporer
wayang sebagai seni bayang-
bayang dengan memadukan
unsur-unsur seni tari, teater,
gamelan, dan seni sastra yang
tidak lagi tunduk pada konvensi
tradisi.
Namun, alih-alih mendapat
dukungan, Ki Sukasman justru
mendapat cemoohan dari rekan
sesama dalang. Sukasman
bahkan pernah dituduh sengaja
merusak pakem wayang. Sebab,
selain melakukan perubahan
dalam pementasan wayang, Ki
Sukasman juga merombak 'tata
sungging' wayang yang telah
ada.
wayang_ukur
Tokoh Punakawan yang
umumnya digambarkan polos,
oleh Ki Sukasman ditambah
dengan 'kuluk' (mahkota-red).
Lampu 'blencong' yang menjadi
senjata utama menghidupkan
bayang-bayang dirombak
dengan memasang puluhan
lampu warna-warni dari depan
dan belakang kelir. Pementasan
juga dikonsep kolosal. Meski
dalang utama tetap satu orang,
namun dalam "Wayang Ukur"
dipakai dalang pembantu yang
jumlahnya minimal antara 3
orang. Para dalang pembantu
ini yang semakin menghidupkan
suasana pakeliran, terutama
dalam adegan peperangan.
Pementasan tentu saja berasa
lain dan dahsyat.
Namun setelah Ki Sukasman
meninggal tahun 2008 lalu, seni
Wayang Ukur seperti kehilangan
roh-nya. Studio Wayang Ukur di
kampung Mergangsang,
Yogyakarta — tempat
diciptakannya Wayang Ukur —
pun sepi karena tak ada
kegiatan apapun. Namun,
sejumlah seniman muda di
Yogyakarta kemudian menyadari
bahwa Wayang Ukur
merupakan satu jenis kesenian
yang harus dilestarikan. Oleh
karena itu pekan lalu mereka
menyelenggarakan kegiatan
" Open Studio" yang diawali
dengan pementasan Wayang
Ukur di Studio "Wayang Ukur"
di Kampung Mergangsang,
Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sesama METALHEADS wajib saling berbagi pengetahuan, berikan komentar kalian sebagai tambahan ilmu. Hellyeaach !!!

add to any

Share